APBN 2010 Tergantung Pada Minyak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menyatakan bahwa anggaran negara mungkin berkurang sebesar Rp 26,7 triliun dari pendapatan minyak dan gas dikarenakan kegagalan untuk mencapai target produksi minyak.
Indonesia memproduksi 956.000 barel per hari (bpd) minyak pada tahun 2009, disbanding target anggaran negara dari 960.000 barel per hari dan realisasi output 980.000 barel per hari di tahun 2008. Tahun ini, anggaran negara menargetkan output sebesar 965.000 barel per hari. BPMIGAS selaku badan pengawas sektor hulu migas memperkirakan output berkisar antara 917.000-965.000 bpd, sedangkan Tim Pengawasan Peningkatan Produksi (TP3M) dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan output berkisar antara 938.000 dan 994.000 barel per hari. Jadi, target produksi yang ditetapkan dalam anggaran negara dapat dicapai. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh pernah menyatakan bahwa target itu dapat dicapai.
Pernyataan seperti ini tentu logis dan realistis mengingat realisasi produksi minyak berkisar pada 944.000 bpd pada bulan Januari tahun ini, meningkat menjadi 959.000 bpd pada bulan Februari, naik lagi ke 962.000 barrel pada bulan Maret, kemudian 965.000 barrel pada bulan April dan 980.000 barel per hari bulan ini. Kecenderungan peningkatan ini diharapkan untuk terus terjadi mengingat Otorisasi Pengeluaran Keuangan (AFE) dan Program Kerja dan Anggaran (WP&B) yang telah disetujui BPMIGAS di bulan Desember 2009.
Kegagalan untuk memenuhi target produksi disebabkan oleh karena keterlambatan, yang disebabkan oleh investasi baru di sektor minyak dan gas yang mana dampaknya baru akan jelas terlihat setelah beberapa bulan beroperasi. Oleh karena itu masuk akal bila mengharapkan produksi terus meningkat dalam beberapa bulan mendatang.
Pemerintah berhasil meraih pendapatan dari sektor migas sebesar USD 19,5 milyar di 2009, yaitu sekitar 30 hingga 35% dari total pendapatan pemerintah tahun itu, dengan minyak memberikan kontribusi sebesar 20%. Pada tahun 2008, pendapatan dari minyak dan gas mencapai jumlah USD35,5 milyar. Industri minyak dan gas merupakan salah satu tulang punggung dari anggaran negara.
Di bawah kontrak bagi hasil, pemerintah berhak atas sekitar 60 persen dari pendapatan kotor minyak dan gas negara, sementara 15 sampai 20 persen dari laba kotor digunakan untuk menutupi biaya operasional dan sisanya sekitar 20 persen menjadi bagian keuntungan bagi kontraktor.
Ada dua faktor yang mempengaruhi pendapatan pemerintah dari minyak dan gas, yaitu produksi nasional dan harga minyak dunia. Sementara produksi minyak dan gas yang tinggi dapat dicapai oleh kontraktor berkat dukungan dari instansi terkait, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Umum Minyak dan Gas Bumi dan BPMIGAS, sedangkan harga minyak tergantung pada perekonomian dunia dan sistem geopolitik global.
Harga minyak berkisar antara USD 20 dan USD 40 per barel pada 2000-2004, naik menjadi USD 40 hingga USD 60 per barel pada 2005-2007 dan mencapai USD 100 pada 2008, sebelum merosot di tengah krisis keuangan global. Harga minyak akan berkisar antara USD 65 hingga USD 85 di 2009-2010 atau rata-rata sekitar USD75.
Mari kita menyoroti fakta bahwa defisit anggaran negara disebabkan oleh kegagalan untuk mencapai target produksi minyak. Kita tahu bahwa impor minyak negara mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi ditargetkan hanya 965.000 barel per hari tahun ini. Dengan demikian, setiap kenaikan harga minyak akan membuat defisit lebih besar, sementara peningkatan produksi minyak akan mengurangi defisit.
Menteri Keuangan mengatakan pada tanggal 30 Maret bahwa setiap penurunan 10.000 barrel dari output minyak akan meningkatkan defisit APBN sekitar Rp 3 triliun, dengan asumsi harga minyak USD 80/barrel dan kurs mata uang sebesar Rp 10.000 per dolar. Dengan demikian bila output minyak diprediksi hanya mencapai 917.000 barel per hari menurut BPMIGAS maka defisit akan meningkat Rp 18 triliun.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antar instansi terkait untuk mencegah masalah-masalah non-teknis yang dapat menyebabkan penurunan produksi dan, dengan demikian, peringatan Menteri Keuangan tentang berkurangnya pendapatan Negara tidak akan terjadi.
Output minyak juga harus ditingkatkan melebihi target yang ditetapkan dalam anggaran negara untuk menghindari defisit anggaran di akhir tahun.
Selain dari perusahaan asing dengan produksi yang besar, peningkatan produksi juga dapat diharapkan dari perusahaan menengah-besar, seperti usaha gabungan Pertamina-Kodeco di blok Madura Barat dan usaha gabungan Pertamina-Petrochina di lapangan Sukowati. Kedua usaha gabungan tersebut berharap dapat meningkatkan output mereka dengan tidak kurang dari 30.000 barel per hari. Sementara itu, Pertamina Hulu Energi akan meningkatkan produksi minyak hingga 15.000 barel per hari di blok lepas pantai Utara Jawa Barat.
Pertamina BUMN saat ini menduduki peringkat kedua setelah PT Chevron Pacific Indonesia, perusahaan Amerika, dalam hal produksi minyak, sedangkan PT Medco Energi Internasional, perusahaan nasional, sekarang berada di peringkat keenam. Dalam hal produksi gas, TOTAL E&P INDONESIE, sebuah perusahaan Perancis, adalah produsen gas terbesar di Indonesia, diikuti oleh Pertamina.
Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan nasional memiliki potensi untuk mendorong produksi minyak nasional lebih tinggi, asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan cadangan minyak nasional dan didukung oleh dana yang memadai.
Kurangnya dana masih menjadi kendala bagi perusahaan nasional.
Keberadaan Pertamina sangat penting tidak hanya sebagai perusahaan nasional yang menghasilkan devisa bagi negara dan memenuhi kebutuhan energi nasional, tetapi juga untuk memperkuat keamanan energi nasional dan sebagai ujung tombak kemajuan Indonesia melalui minyak dan kontrol bisnis gas - sebuah misi yang layak mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat di negara ini.
Sebagai penyelamat potensial dari anggaran negara, mari kita menaruh harapan pada kemampuan Pertamina dalam mengoptimalkan semua potensi dan peluang.
Penulis adalah pakar minyak dan gas dari Institut Teknologi Bandung.