Teknologi CCS/CCUS Berperan Penting di Era Transisi Energi
Industri hulu migas Indonesia berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari operasional produksi dengan mempersiapkan Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilty Storage (CCUS). Penerapan teknologi CCS/CCUS ini akan membantu tercapainya Net Zero Emission (NZE) 2050 dan mendorong produksi migas yang lebih bersih.
Pada acara IPA Convention & Exhibition ke-46 di sesi Plenary Session II bertajuk “The Role and Commercialization of CCS/CCUS in Meeting indonesia’s Net Zero Target” di Jakarta Convention Center (JCC) pada 22 September 2022, sejumlah panelis menjabarkan pentingnya CCS-CCUS pada transisi energi. Teknologi ini bahkan dapat mengurangi 10 persen emisi karbon secara global. Namun, penerapan CCS/CCUS perlu didukung kepastian hukum, kemudahan berusaha, dan kemudahan fiskal.
Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengatakan Indonesia sedang berada di tahap transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT). Proses transisi energi ini, kata Tutuka, akan membutuhkan waktu yang panjang. Sebelum mencapai hal tersebut, industri migas masih berkontribusi signifikan dalam pemenuhan kebutuhan energi. Terlebih, gas memegang peran penting sebagai sumber energi transisi dengan kandungan emisi karbon lebih rendah.
“Target pemerintah untuk meningkatkan produksi migas perlu didukung untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi nasional dan mengurangi impor energi. Upaya tersebut akan membutuhkan investasi baru dan modal global," kata Tutuka.
Tutuka menambahkan, CCS/CCUS menjadi teknologi penting di masa transisi energi. Pasalnya, teknologi ini dapat mendukung pengurangan emisi pada berbagai sektor industri.
“Penerapan teknologi CCS saat ini mirip dengan awal ekspor LNG pada awal 1970-an, di mana hanya sedikit negara yang menerapkan teknologi tersebut,” ujar Tutuka.
Indonesia, kata Tutuka, saat ini sudah melakukan studi terkait CCS/CCUS. Terdapat 10 titik kajian CCS/CCUS yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di lapangan migas, maupun di pabrik dengan emisi tinggi. Sejalan dengan itu, CCS/CCUS di Asia Tenggara ditargetkan mencapai 35 metrik ton (MT) CO2 pada 2030 dan lebih dari 200 MT pada 2050.
“Indonesia diberkahi dengan kekayaan geologis. Ditambah, teknologi ini belum banyak diterapkan negara-negara lain. Indonesia dapat memimpin penggunaan teknologi CCS/CCUS di kawasan,” kata Tutuka.
Masih dalam diskusi yang sama, CEO Pertamina Hulu Energi (PHE) Budiman Parhusip menekankan bahwa energi harus tersedia, terjangkau, dan bersih atau rendah emisi. Hal ini dikarenakan kebutuhan energi diproyeksikan terus meningkat di masa depan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Dalam skema bauran energi yang tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), persentase energi migas memang diproyeksikan menurun, tapi secara volume akan meningkat. Oleh sebab itu, migas masih berperan penting dalam mendukung pemenuhan energi di era transisi energi.
Selain itu, penyediaan energi migas perlu memperhatikan risiko lingkungan yang ditimbulkan. Di sinilah CCS/CCUS akan memegang peran penting sebagai teknologi yang membantu pengurangan emisi karbon di tengah upaya mengejar target produksi. Dari perspektif korporasi, pengembangan teknologi CCS/CCUS juga dapat menjadi area bisnis baru bagi Pertamina.
“Aspek teknisnya saat ini adalah memprioritaskan pengembangan EOR dan IOR untuk meningkatkan penangkapan hidrokarbon dan membangun kemitraan untuk pembangun CCS/CCUS,” ujar Budiman.
Budiman mengatakan, komitmen pembangunan berkelanjutan PHE, khususnya mengenai dekabornisasi, membutuhkan kemitraan strategis dengan pihak-pihak terkait. PHE, lanjut Budiman, telah berkomitmen menjaga lingkungan, dan telah membentuk komite sekaligus kebijakan terkait hal tersebut.
Budiman menambahkan, saat ini PHE telah membangun kemitraan dengan perusahaan yang memiliki green bond, dan terus mendorong perbaikan tata kelola fiskal PSC. “Untuk membuka CCS/CCUS ini diperlukan kemitraan, penambahan nilai, leveraging infrastruktur yang ada, dukungan kebijakan, dan pengembalian keuntungan,” tambahnya.
Menurut Budiman, modal dapat menjadi awal yang baik guna mendukung implementasi CCS/CCUS. Dengan modal yang baik, kemungkinan-kemungkinan baru terkait peningkatan produksi, kapasitas, dan pemenuhan kebutuhan domestik akan terbuka. Sejalan dengan hal itu, PHE berkeinginan meningkatkan produksi. Terlebih, menurut Budiman CCS/CCUS adalah bisnis potensial.
Adapun, Vice President Marketing, Financial & Commercial Development ExxonMobil, Tracy Lothian mengatakan upaya pencapaian NZE membutuhkan dukungan penyimpanan karbon yang besar. Pemangku kepentingan terkait, perlu berfokus pada upaya dekarbonisasi di industri yang menghasilkan kadar emisi karbon tinggi demi mencapai target NZE.
Tracy juga menekankan bahwa dukungan kebijakan merupakan hal krusial yang dibutuhkan untuk pengembangan CCS/CCUS di Tanah Air. “Khususnya, para pemangku kepentingan perlu mengeluarkan kebijakan komersialisasi CCS/CCUS,” ungkap Tracy.
Proyek CCS/CCUS yang dipimpin ExxonMobil sejauh ini telah menunjukkan perkembangan positif. Tracy menjelaskan, pihaknya tengah membuka proyek CCS/CCUS di berbagai daerah lepas pantai Amerika Serikat, salah satunya terletak di Houston, Texas.
Sementara itu, VP Director of JETRO, Akihisa Matsuda menyampaikan bahwa Pemerintah Jepang menetapkan target Net Zero pada 2030, bahkan berambisi mencapai fase Negative Emissions pada 2050. Melalui JETRO, Jepang menggelar kemitraan strategis terkait CCS/CCUS dengan sejumlah negara Asia dalam komite ASIA CCUS Network.
Lalu, VP Director of JETRO, Akihisa Matsuda menyampaikan bahwa Pemerintah Jepang menetapkan target Net Zero pada 2030, bahkan berambisi mencapai fase Negative Emissions pada 2050. Melalui JETRO, Jepang menggelar kemitraan strategis terkait CCS/CCUS dengan sejumlah negara Asia dalam komite ASIA CCUS Network.
“Ini dimulai pada 2020 ketika Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga merilis kebijakan Net Zero Emissions,” kata Akihisa.