Investor Khawatirkan Kepastian Hukum di Migas
Isu ketidakpastian hukum di sektor minyak dan gas bumi kini mencuat lagi. Perbedaan pemaknaan mengenai PSC (production sharing contract) sebagai basis pelaksanaan investasi telah menimbulkan kekhawatiran tersebut.
Pakar Migas Abdul Muin mengemukakan sistem PSC atau kontrak bagi hasil selama ini cukup efektif dalam menjamin keberlangsungan pengelolan sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. "Jika ada persoalan yang timbul dalam pelaksanaan PSC oleh kontraktor, penyelesaiannya cukup melalui jalur perdata yang didahului dengan audit lembaga berwenang," ujarnya dalam satu diskusi Rabu (7/11).
Dalam sistem PSC, ujarnya, sesuai UU No. 22/2001, regulasi itu cukup jelas memberikan kewenangan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai pihak yang mewakili pemerintah berkontrak dengan investor migas dengan peran sebagai mitra, mengamankan bagian pemerintah, mengawasi jalannya operasi serta mengatasi hambatan yang muncul di lapangan.
Bahkan, tambah Muin yang juga mantan Wakil Kepala BP Migas, pernah melakukan pemeriksaan terhadap PoD (plan of development) dari satu kontraktor. "Ketika ada yang janggal, langsung dikonfirmasikan dan diklarifikasi kepada kontraktor. Saya pernah melakukan audit terhadap kelebihan pembayaran cost recovery. Mereka akhirnya mengakui dan mengembalikannya."
Kasus yang Disorot
Salah satu kasus yang disorot dan menimbulkan kepastian berusaha di sektor migas adalah penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap proyek bioremediasi PT Chevron Pacifin Indonesia. "Saya cukup terkejut dan prihatin adanya kasus itu. Persoalan itu cukup diselesaikan melalui audit oleh BP Migas, atau maksimal di bawa ke ranah perdata."
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus bioremediasi Chevron. Secara makro, ujarnya, perlakuan terhadap kasus bioremediasi Chevron ini akan membawa image buruk terhadap kepastian hukum berinvestasi di Indonesia. "Mungkin bukan sekarang, tetapi di waktu yang akan datang, investor migas yang akan masuk akan ragu-ragu melihat situasi di Indonesia. Adanya kasus itu menjadi preseden yang buruk bagi dunia migas."
Sebagai wujud munculnya ketidakpastian dan keresahannya dalam berusaha di sektor migas terutama berkaitan dengan kasus Bioremediasi, Chevron Pacific Indonesia disebut-sebut telah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM, Menteri Koordinator Perekonomian, Menko Polhukham, dan Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto.
Pengajuan surat ke pemerintah dibenarkan oleh Vice President Policy, Government & Public Relation Chevron Yanto Sianipar. "Kami sudah menyampaikan surat ke pemerintah, agar persoalan bioremediasi ini diselesaikan secara perdata. Tanggapan pemerintah cukup positif. Karena memang persoalan ini bukan berada di ranah pidana, melainkan perdata sebagaimana layaknya PSC."
Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas Hadi Prasetyo mengakui, berbagai ketidakpastian hukum yang terjadi di sektor migas telah menghambat kinerja sektor penyumbang terbesar penerimaan negara itu. Indikasi itu bisa terlihat dari realisasi produksi yang hanya mencapai 870.000 barel per hari dari target APBN 2012 sebesar 930.000 barel per hari.
Yanto menambahkan selama 80 tahun Chevron beroperasi di Indonesia, baru saat ini kegiatan operasinya berbuah kasus pidana, dengan tuduhan korupsi. Padahal proyek bioremediasi yang dituding Kejaksaan Agung merugikan negara itu sudah berlangsung lama, sudah sukses merehabilitasi lingkungan, dan sama sekali tidak dibiayai oleh anggaran negara. Yanto sendiri tidak ingin banyak menanggapi kemungkinan adanya motif-motif tertentu, terkait masuknya Kejaksaan Agung memeriksa proyek Bioremediasi Chevron.