IPA: Ada Perbedaan Pendapat Soal Kekurangan Pajak
Jakarta-TAMBANG. Indonesian Petroleum association (IPA) menilai adanya perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dengan kontraktor terkait dikeluarkan pernyataan atas kekurangan pajak yang dilakukan oleh 13 kontraktor Migas. Menurut, Vice President IPA, Sammy Hamzah, perbedaan pendapat ini terjadi pada penggunaan tarif pajak sesuai traktat dan adanya temuan audit yang belum terselesaikan yaitu soal isu cost recovery.
Sammy mengatakan, sesuai ketentuan konvensi perpajakan internasional, wajib pajak yang berdomisili di Negara mitra traktat pajak dengan Indonesia tentunya dapat menerapkan ketentuan tarif traktat pajak Brand Profit Tax (BPT) yang lebih rendah dari 20%. Dimana lanjut Sammy traktat pajak itu sendiri telah ditandatangani oleh Indonesia dengan Negara-negara mitra traktat pajak.
“Jadi negara-negara mitra traktat pajak, telah membuat perjanjian dengan Indonesian melalui perjanjian bilateral antar Negara atau G to G yang telah diratifikasi berdasarkan azas timbale balik atau reciprocay l yang bertujuan untuk menghindari pajak berganda,” ujarnya dalam acara Pemaparan IPA tentang PSC Taxation, Jumat, 19 Agustus 2011.
Dimana, lanjut Sammy, traktat pajak yang telah disepakati dalam perjanjian bilateral tersebut akan menjadi suatu kententuan yang harus dipatuhi oleh kontraktor yang berdomisili di Negara yang bersangkutan. Namun, apabila pemerintah berencana untuk menarik komponen migas dari tax treaty, tentu hal tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sepihak dan harus terlebih dahulu dibicarakan dan disetujui oleh Negara mitra tax treaty.
“Bisa saja dilakukan renegosiasi PSC dan tax treaty, namun pemerintah tidak bisa melakukan hal tersebut secara sepihak. Karena, pemerintah juga harus menghormati hak Negara mitra tax treaty, sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian bilateral tadi,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, dirinya juga meminta pihak auditor pemerintah tidak hanya melihat adanya potensi kerugian Negara karena berkurangnya bagi hasil pemerintah akibat kontraktor menerapkan tarif BPT lebih rendah. Karena, lanjutnya, bukan hanya kontraktor Migas yang memberlakukan kebijakan tarif BPT bahkan pada industri lainnya, juga telah menetapkan tarif BPT yang lebih rendah.
Maka, tambahnya, apabila Ditjen Pajak secara sepihak menerbitkan SKP terkait dengan selisih tarif PPh atas BPT tersebut, tentu ini akan menjadi referensi yang sangat buruk bagi Indonesia dan akan mempengaruhi iklim investasi.
“Kalau kemudian Ditjen Pajak menerbitkan SKP dengan selisih tarif PPh atas BPT, tentu Indonesia akan dikucilkan dari pergaulan internasional karena dianggap telah melanggar perjanjian internasional yang nantinya akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia yang sedang membutuhkan investasi dalam meningkatkan produksi migas yang sedang turun,” ucapnya.
Sementara itu, terkait adanya perbedaan pendapat soal cost recovery, menurut Sammy hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan interpretasi atas ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Kerjasama BPMIGAS dan Kontraktor. Maka dari itu, Sammy mengusulkan agar penyelesaian harus dilakukan sebagaimana yang terdapat pada masing-masing kontrak kerjasama para kontraktor dengan BPMIGAS.
“Sebelum perselihan ini diselesaikan maka sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati di dalam kontrak kerjasama, Ditjen Pajak tidak seharusnya menerbitkan SKP secara sepihak atas temuan-temuan auditnya,” katanya.
Sejauh ini pihaknya percaya kalau seluruh kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia memiliki komitmen yang tinggi dalam mematuhi seluruh peraturan yang berlaku di Idonesia, termasuk peraturan perpajakan.