Mispersepsi Tentang Perminyakan Nasional
Indonesia sedang mengubah aturan permainan yang dirancang untuk bertahan selama tiga dekade hanya 11 tahun setelah peraturan tersebut berlaku.
Itu adalah gambaran dari beberapa analis dan eksekutif perusahaan minyak mengenai pembahasan amandemen UU Minyak dan Gas 2001 oleh DPR saat ini.
Anomali ini, menurut Indonesian Petroleum Association (IPA), tampaknya disebabkan oleh mispersepsi pada masyarakat umum dan politisi di DPR mengenai peran dan sifat khusus dari industri hidrokarbon.
Pendapat IPA pekan lalu cukup tepat, yaitu bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional, industri petroleum di Indonesia tidak dikontrol oleh perusahaan asing, yang sebenarnya hanya bekerja sebagai kontraktor pemerintah di bawah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang dikelola dan diawasi oleh SK Migas, pengganti BPMigas yang sekarang sudah dibubarkan.
Mispersepsi ini juga jelas tercermin dalam pertimbangan yang mengarah kepada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 13 November lalu untuk membubarkan BPMigas, yang didirikan pada tahun 2002 di bawah UU Migas 2001 untuk mengawasi dan mengelola KKKS.
Memang benar bahwa sebagian besar minyak dan gas yang diperoleh negara itu berasal dari konsesi yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Tapi hal tersebut adalah karena sifat dari prospek sumber minyak dan gas - yang berisiko tinggi, membutuhkan teknologi intensif dan modal besar dengan jangka waktu pengembalian yang panjang. Berdasarkan UU migas saat ini, semua risiko tersebut ditanggung oleh para kontraktor.
Karena alasan tersebut sangat sedikit perusahaan lokal yang bersedia mengambil risiko dalam industri ini, karena mereka tidak punya cukup modal, teknologi atau keahlian. Tidak heran hanya sedikit perusahaan minyak lokal yang mengikuti lelang konsesi yang secara teratur ditenderkan oleh badan pengawas.
Seperti dikatakan oleh Eddy Purwanto, seorang analis minyak berpengalaman dan Wakil Kepala BPMigas 2002-2009, Rabu (121/12), perusahaan minyak asing gagal menemukan potensi sumber minyak di wilayah timur Indonesia, meskipun mereka telah menghabiskan lebih dari US$ 2 miliar untuk eksplorasi lepas pantai antara tahun 2009 dan 2012.
Sebagai kontraktor, perusahaan-perusahaan asing ini menanggung semua kerugian tersebut. Mampukah perusahaan perusahaan nasional atau BUMN menanggung kerugian seperti dialami para kontraktor asing tersebut?
Hal ini adalah karena sifat khusus dari industri hidrokarbon, bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor ini harus mendapatkan kepastian hukum serta kejelasan dan konsistensi kebijakan untuk jangka waktu yang panjang, setidaknya untuk rata-rata 30 tahun usia dari KKKS.
Tapi tampaknya ada tekanan politik yang kuat untuk memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan nasional dalam pengelolaan sumber daya hidrokarbon.
Jika permintaan ini diintegrasikan ke dalam amandemen UU Migas - dan kemungkinannya cukup tinggi, mengingat munculnya sentimen nasionalistis di tengah persiapan pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014 - industri perminyakan kita akan berada dalam bahaya besar. Dampaknya akan parah mengingat industri ini menyumbang 25 persen dari pendapatan pemerintah dan menyumbang sekitar 7 persen dari produk domestik bruto nasional.
Yang paling penting adalah bahwa industri minyak dan gas di masa depan harus menetapkan ketentuan terperinci yang mengharuskan perusahaan-perusahaan minyak asing mentransfer teknologi dan keahlian mereka kepada perusahaan perusahaan nasional dalam rangka membangun industri perminyakan dalam negeri yang handal.
Selama 10 tahun terakhir eksplorasi oleh perusahaan asing terus menurun, karena iklim usaha lokal yang tidak mendukung. Namun, eksplorasi adalah kunci untuk meningkatkan cadangan minyak bangsa untuk mengganti minyak yang telah kita gunakan.
Hal ini menjadi alasan utama mengapa produksi minyak di Indonesia terus turun dari 1,5 juta barel per hari (bph) pada 1999 menjadi 1,25 mbd pada tahun 2002 dan kurang dari 0,90 mbd saat ini, sementara konsumsi dalam negeri telah meningkat menjadi lebih dari 1,4 mbd, yang telah mengubah negara ini menjadi negara pengimpor minyak sejak tahun 2004.