Sengketa Pajak Kontraktor Migas Akibat Traktat Pajak
Jakarta (IFT) Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menyatakan permasalahan penunggakan pajak tiga perusahaan migas senilai Rp. 1,6 triliun dari 1991-2008 karena persengketaan traktat pajak atau perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) dan royalty pengalihan kepemilikan wilayah kerja migas.
Raden Priyono, Kepala BP Migas, mengatakan kontraktor kontrak kerja sama yang bermasalah itu pada umumnya menggunakan traktat pajak dengan system hukum Inggris (British Law). Traktat pajak yang menggunakan system hukum Inggris ini hanya sebesar 10%, jauh dibawah peraturan pajak nasional yang menerapkan pajak bunga dividen royalty sebesar 20%.
Kontraktor kontrak kerja sama asal Inggris yang menggunakan sistem hukum Inggris antara lain BP Indonesia, Premier Oil. Namun, Priyono berdalih kedua perusahhan itu belum tentu termasuk yang mengalami sengketa pajak tersebut. “Mereka (kontraktor) punya argumen, BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) punya argument, jadi dibicarakanlah. Kami dalam posisi semuanya harus tunduk pada aturan pemerintah dan menghormati kontrak,” ujarnya, Rabu.
BPKP sebelumnya menyatakan total penunggakan kontraktor migas mencapai Rp. 1,6 triliun. Guna menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut, BP Migas secara rutin mengawasi tindak lanjut bersama dengan BPKP dan kontraktor terkait.
Menurut BPKP, penerapan traktat pajak ini dalam penghitungan Pajak Bunga Dividen dan Royalti dengan tariff dibawah 20% menyebebkan berkurangnya penerimaan pajak, sehingga konsep bagi hasil (split) 85%-15% dalam kontrak bagi hasil tidak dapat sepenuhnya tercapai. Sementara menurut kontraktor, traktat pajak itu merupakan bagian dari peraturan perpajakan yang harus di implementasikan.
“Kami berharap penyelesaian permasalahan perpajakan kontraktor dapat dilaksanakan tanpa harus mengganggu kondusivitas iklim investasi migas di Indonesia yang akhirnya justru negatif terhadap penerimaan Negara,” ujarnya.
Terkait royalty pengambilalihan interest di suatu wilayah kerja, menurut Priyono, terdapat beberapa hal yang juga mengakibatkan dispute. Kontraktor pembeli diwajibkan membayar imbalan (royalty) kepada kontraktor sebelumnya untuk setiap hasil produksi migas dari wilayah kerja bersangkutan. Ini membuat kontraktor memberlakukan pembayaran imbalan itu sebagai faktor pengurang dalam perhitungan penghasilan kena pajak.
Menurut BPKP, lanjut Priyono, pembayaran imbalan oleh kontraktor tersebut bukan merupakan bagian dari transaksi kontrak bagi hasil dan tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya dalam perhitungan pajak penghasilan. Dengan begitu, dalam setiap tahun pemeriksaan BPKP melaporkan adanya kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan oleh kontraktor.
Fuad Rachmany, Direktur Jendral Pajak Kementrian Keuangan, mengatakan traktat pajak telah dilakukan sejak belasan tahun yang lalu dan menjadi standar internasional. Dia mengakui traktat pajak berbeda-beda antar Negara. Fuad mencontohkan traktat pajak dengan Inggris dan Amerika Serikat berlaku 10% dan Malaysia 12,5%.
“Dengan traktat pajak sebesar 10%, Pajak Penghasilan Kontraktor akan turun, tapi di sisi lain Penerimaan Negara Bukan Pajak akan naik. Ini yang kemudian menjadi perselisihan dan terus terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.
Untuk menghindari persengketaan ini terjadi lagi, menurut Fuad, menteri keuangan telah memberi arahan agar pajak-pajak yang dikenakan kepada kontraktor sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2010 tentang Cost Recovery. Menteri Keuangan dalam waktu dekat ini akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan terkait perpajakan kontraktor migas.
Jim Taylor, Vice President Indonesian Petroleum Association mengatakan bila beberapa kontrak migas direnegosiasi, ini akan berdampak buruk bagi iklim investasi migas di Indonesia. Setiap kontraktor mengeluarkan banyak biaya dimasa lalu sejak masa eksplorasi. Kontraktor tidak akan mau mengubah kontrak yang ada.
“Konsistensi dan kejelasan kontrak sangat penting bagi stabilitas dan jaminan investasi di Indonesia,” ujar dia.