Butuh Kebijakan Terintegrasi untuk Keseimbangan Produksi Migas dan Penurunan Emisi
2nd Pre-Event of IPA Convex 2021
|
Pemerintah Indonesia membidik target produksi minyak sebesar satu juta barel per hari dan gas sebesar 12 standar kaki kubik per hari pada 2030. Di tengah upaya global untuk mengatasi permasalahan iklim, peningkatan produksi migas nasional harus diselaraskan dengan upaya menekan emisi karbon dioksida (CO2). Agar tercipta keseimbangan antara peningkatan produksi dengan penurunan emisi karbon, diperlukan kebijakan yang terintegrasi. Dengan begitu bisa menghadirkan kejelasan bagi para investor migas global ketika menjalankan bisnisnya di Tanah Air. “Kita harus memiliki kebijakan terintegrasi yang memudahkan untuk investasi. Dengan regulasi yang in place semua akan merasa aman untuk investasi di Indonesia, termasuk industri dalam negeri. Itu yang kita butuhkan,” ujar Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman pada acara 2nd Pre-Event of IPA Convex 2021 dengan judul "Carbon Policies in Indonesia, Striking the Balance Between Carbon Emission Target and the 1 MMBOPD/ 12 BSCFD Target", Rabu (28/7). Turut hadir pada acara tersebut, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Saleh Abdurrahman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laksmi Dhewanthi, Staff Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, dan Direktur Repsol Indonesia, Greg Holman. Sebagai moderator pada acara ini, Direktur Riset Hulu Migas Asia Pasifik Wood Mackenzie, Andrew Harwood. Lebih lanjut Fatar mengatakan, perusahaan migas global tentu memiliki target untuk pengurangan emisi karbon. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengakomodir standar-standar global tersebut melalui sebuah kebijakan yang sesuai dengan Kesepakatan Paris atau yang biasa dikenal dengan Paris Agreement. Mengingat, investor masih melirik potensi migas nasional yang digadang-gadang memiliki peran besar dalam bauran energi nasional di masa mendatang. Selain itu, migas juga masih dianggap sebagai pemasok energi guna mendorong pertumbuhan ekonomi. “Jadi kebijakan ini harus direspon. Pemerintah dan bisnis harus duduk bersama karena jika tidak perusahaan akan pergi,” katanya. Hal senada diungkapkan Greg Holman. Menurut dia, untuk berinvestasi dan menjalankan kegiatan operasi yang sejalan dengan upaya menurunkan emisi karbon membutuhkan kepastian hukum yang jelas. Misalnya terkait teknologi carbon capture and storage (CCS) yang memerlukan kejelasan teknis pada pelaksanaannya. Selain itu, kejelasan mengenai skema carbon pricing. “Jadi kapasitas teknis dan hukum harus ada prioritas dan dikasih lampu hijau untuk melakukannya,” katanya. Greg mengatakan, perusahaan migas hanya ingin memastikan bahwa proyek bisa berjalan dan menjadi bagian dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Menurutnya, keputusan perusahaan menanamkan modal sangat bergantung pada sejumlah hal, seperti prospek, pengembangan infrastruktur, akses terhadap pasar energi, rezim fiskal, dan bagaimana peraturan yang ada bisa membantu kegiatan bisnis. “Ini adalah posisi Indonesia berkaitan dengan daya saing. Sekarang kita lihat bagaimana (perusahaan) akan menanamkan modalnya, apakah di sisi hulu atau di tempat lain,” tutur dia. Menurut Saleh Abdurrahman, pemerintah terbuka untuk mendiskusikan insentif apa yang dibutuhkan perusahaan minyak dan gas bumi terkait penurunan emisi karbon ini. Baik dari sisi penggunaan teknologi CCS maupun carbon capture storage and utilization (CCUS). Namun, ia memberi catatan, pemerintah sudah melakukan insentif pada proyek enhanced oil recovery (EOR) yang menggunakan CO2 atau uap sebagai bahan injeksi. Saleh mengungkapkan, penerapan teknologi CCS atau CCUS sejalan dengan upaya meningkatkan produksi tapi juga menekan emisi gas rumah kaca. Menurut dia, saat ini ada beberapa proyek CCS di Indonesia dan diharapkan bisa melakukan injeksi pada 2026. Upaya menjaga laju produksi sangat diperlukan karena peran energi fosil masih dibutuhkan dalam mewujudkan Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Pasokan energi migas dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Di sisi lain, dengan menjaga produksi maka hal itu bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor migas. Saleh mengatakan, gas bumi akan memainkan peran yang besar dalam bauran energi nasional sebab penggunaan minyak akan diminimalisir untuk mengurangi impor. Pada saat bersamaan mendorong penerapan teknologi rendah emisi untuk mengurangi emisi GRK. “Ini adalah salah satu agenda yang sifatnya urgent dan kita akan mengerjakannya secara cepat dalam waktu dekat,” ujarnya. Adapun Laksmi Dhewanthi mengatakan, pemerintah saat ini sedang menyiapkan peraturan presiden terkait harga karbon atau dikenal dengan nilai ekonomi karbon (NEK). Peraturan ini akan mempromosikan implementasi harga karbon agar dapat mendukung target nationally determined contribution (NDC). Seperti diketahui, target NDC Indonesia pada 2030 adalah mengurangi emisi sebesar 29 persen (834 juta ton CO2e) dengan upaya sendiri. Jumlah tersebut bisa meningkat menjadi 41 persen (1.081 juta ton CO2e) dengan adanya dukungan kerja sama internasional. “Di dalam perpres, itu masih didasarkan mandat dan fungsi dari masing-masing kementerian. Jadi untuk pajak karbon itu pimpinan sektornya di Kementerian Keuangan. Itu harus bisa berkoordinasi dengan Kementerian LHK dan sektor terkait lainnya. Jadi setiap kementerian akan memiliki fungsi dan peraturan masing-masing berkaitan dengan implementasi harga karbon di Indonesia,” tuturnya. Sedangkan Masyita Crystallin mengungkapkan, terkait harga karbon pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian LHK untuk menyiapkan peraturan yang diperlukan. Dijelaskan, instrument harga karbon ada dua, yaitu pertama, instrumen perdagangan (trading instrument) dengan dua jenis yakni emission trading system (ETS) dan emission offset (EO). Sedangkan kedua, instrumen non-perdagangan dengan dua jenis yakni pajak karbon dan result based payment (RBP). “ETS bisa membeli izin emisi. Kalau EO entitas yang mengurangi karbon bisa menjual kepada entitas yang membutuhkan karbon kredit,” tuturnya. Sebagai penutup, Andrew Harwood menyimpulkan bahwa hal yang penting bagi investor dan pemerintah adalah mencapai kerangka kerja yang tepat mengingat target produksi pada 2030 merupakan tantangan yang besar dan juga target untuk menurunkan emisi karbon. “Sekarang ini adalah bagaimana menyeimbangkan target tersebut,” katanya menutup acara. (*) |