Meskipun Banyak Kegagalan, Proyek Laut Dalam Masih Menjanjikan
Harapan masih ada bagi eksplorasi cekungan hidrokarbon di laut wilayah timur Indonesia, meskipun beberapa perusahaan migas besar telah menyerah.
Namun pemerintah perlu meningkatkan iklim investasi untuk memikat para investor dan berhenti berperilaku seolah-olah perusahaan-perusahaan tersebut akan terus mengalirkan miliaran dolar untuk melakukan eksplorasi dalam iklim investasi yang masih bermasalah, kata Wakil Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah.
"Itu ada di tangan pemerintah, untuk meyakinkan investor bahwa eksplorasi cadangan di perairan laut dalam masih menjanjikan," katanya kepada The Jakarta Post.
Para eksekutif IPA, yang sebagian besar anggotanya adalah perusahaan-perusahaan multinasional raksasa yang menyumbang sekitar 90 persen produksi migas Indonesia, mengomentari langkah beberapa perusahaan baru-baru ini yang menyerahkan kembali blok mereka kepada pemerintah setelah eksplorasi selama bertahun-tahun.
Para pemain utama seperti ExxonMobil (AS) dan Statoil (Norwegia), dua perusahaan pertama yang terlibat dalam proyek proyek perairan laut dalam, memutuskan untuk mengembalikan blok mereka di Selat Makassar, Sulawesi, setelah menemukan bahwa sebagian besar dari eksplorasi mereka ternyata hanya mendapatkan "sumur kering."
ConocoPhillips (AS) juga mengembalikan blok Kuma di Selat Makassar karena perusahaan menganggap blok tersebut tidak memiliki nilai ekonomis.
Dalam tiga tahun terakhir, para investor migas di Indonesia giat mencari cadangan cadangan migas, menghabiskan AS$2,4 miliar tanpa menemukan cekungan hidrokarbon yang menguntungkan. Sekitar 70 persen dari angka itu adalah dari proyek perairan laut dalam.
Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan bahwa Indonesia masih akan memerlukan perusahaan perusahaan migas asing dengan modal besar untuk menggali cadangan hidrokarbon di tengah menurunnya produksi minyak Negara saat ini.
Perusahaan energi internasional seperti Chevron (AS ) dan Total SA (Perancis) menyumbang sekitar 70 persen dari produksi minyak Indonesia, dengan sekitar 40 persen produksi berasal dari Chevron.
Produksi minyak bulan Januari tahun ini, sebesar 830.000 barel per hari (bph), adalah output terendah yang pernah dialami Indonesia.
Namun para pejabat Indonesia tetap optimis bahwa akan ada lebih banyak lagi penemuan cadangan migas di perairan kepulauan bagian timur. Deputi Operasi SKKMigas Gde Pradnyana bersikeras bahwa kegagalan beberapa perusahaan besar baru-baru ini bukanlah tanda tanda berakhirnya proyek-proyek laut dalam di Indonesia. Gde mengatakan negara akan tetap mendapat keuntungan, bahkan dari sumur sumur eksplorasi yang gagal, karena akan ada lebih banyak data dari perusahaan-perusahaan tersebut yang dapat dikembangkan untuk proyek-proyek di masa depan.
"Lihatlah lapangan Gendalo di Selat Makassar. Meskipun ExxonMobil tidak menemukan apa-apa di lapangan tersebut, saat Chevron mengambil alih kontraknya mereka berhasil menemukan cadangan yang menguntungkan," katanya.
Awal tahun ini, Chevron menemukan kapasitas produksi gas sebesar 700 juta mmscfd dan 20.000 bph minyak di ladang Gendalo.
Gde juga menyoroti keberhasilan penemuan blok Masela yang kaya gas di Laut Arafura oleh Inpex (Jepang) sebagai contoh bahwa perairan di kepulauan bagian timur masih menjanjikan.